Bagaimana Anda pertama kali memulai karier sebagai arsitek di Indonesia?
Zaman dahulu arsitek belum banyak, hanya berjumlah sekitar 20 orang. Saat itu umumnya kami mendapatkan pekerjaan yang langsung ditunjuk oleh Bapak Ir. Soekarno. Peraturan pun belum sebanyak sekarang. Para arsitek yang baru lulus dapat mengerjakan proyek. Kala itu saya baru saja mulai bekerja di salah satu biro estetika, ibaratnya magang. Di situlah saya pertama kali berkenalan dengan Bapak Frederich Silaban, Arsitek Mesjid Istiqlal. Salah satu proyek pertama saya adalah bangunan yang kini menjadi Hotel Grand Hyatt, Jakarta.
Siapa yang menjadi inspirasi Anda?
Para guru dan Presiden pertama kita. Saya pernah bekerjasama dengan Bapak Soekarno, semua gambar harus melewati asistensi beliau saat itu. Saya kagum dengannya, karena Bapak menurunkan level Presiden-nya menjadi ahli bangunan. Di situ saya belajar cara bersikap dengan setiap orang.
Sebagai pakar restorasi, bangunan apa yang paling diingat saat kembali menatanya?
Saya ditantang untuk membantu membereskan atap yang bocor di Katedral, Jakarta. Para arkeolog ingin menggunakan sirap agar sama dengan sebelumnya. Tetapi saya justru malah menggantinya dengan bahan yang mirip dengan gereja di Eropa. Keputusan ini belakangan justru malah membuat atap terlihat lebih menyatu. Intinya, semua bangunan restorasi harus memiliki hubungan erat dengan kehidupan manusia. Namun yang ingin diangkat adalah style beyond that.
Mengapa Anda banyak merestorasi Gereja?
Saya mendapat beasiswa dari Keuskupan Agung Malang. Pada saat lulus, lalu mendaftar sebagai guru SMA. Melihat hasil akademis, saya diikutkan praktek tanpa syarat, dan menghasilkan karya-karya yang melibatkan gereja. Dekorasi gereja adalah seni; Christian Art, La Sacre. Seni suci pada gereja bukan sekadar memperkaya ruang. Tapi sebagai pengantar para umat kekhusukan. Beyond decoration. Seni-seni sakral untuk di setiap tempat ibadah dengan melibatkan emosi.
Apa wejangan untuk para desainer muda bangsa?
Jangan takut! Banyak arsitek Indonesia yang bisa membangun bangsa. Kebutuhan manusia kini sudah meningkat. Distorsi pasti ada, sehingga perlu pendampingan antropolog dan psikolog yang memandu kehidupan peradaban sekarang. Supaya karya-karya tidak lepas. Bahwa kita dipengaruhi budaya luar memang kenyataannya. Tapi toh kita mencari akarnya.